A.PENGERTIAN

Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Pasal 1 angka 28 UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan).

Yang dimaksud dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya meliputi segala keterangan tentang orang dan badan yang memperoleh pemberian layanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri, meliputi :
1.Jumlah kredit;
2.Jumlah dan jenis rekening nasabah (Simpanan Giro, Deposito, Tabanas, Sertifikat, dan surat berharga lainnya);
3.Pemindahan (transfer) uang;
4.Pemberian garansi bank;
5.Pendiskontoan surat-surat berharga; dan
6.Pemberian kredit.

Rahasia bank diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan pasal tersebut :
Ayat (1)
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
Ayat (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi.

Berdasarkan ketentuan diatas, jelas bahwa yang wajib dirahasiakan oleh pihak Bank/Pihak terafiliasi hanya keterangan mengenai nasabah Penyimpan dan simpanannya. Apabila Nasabah Bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah debitur, bank tetap wajib merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Artinya jika nasabah itu hanya berkedudukan sebagai nasabah debitur maka keterangan tentang nasabah debitur dan hutangnya tidak wajid dirahasiakan oleh bank/pihak terafiliasi. Dengan demikian, lingkup rahasia bank hanya meliputi keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, keterangan selain itu bukan rahasia bank.

Yang dimaksud Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan nasabah yang bersangkutan (Pasal 1 angka (17) UU No.10 Tahun 1998).

Sedangkan yang dimaksud dengan Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 1 angka (5) UU No.10 Tahun 1998).

B.SIFAT RAHASIA BANK

Mengenai sifat Rahasia Bank, ada dua teori yang dapat dikemukakan, yaitu:

1.Teori Mutlak (Absolute Theory)

Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat mutlak. Semua keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan. Dengan alasan apapun dan oleh siapapun kerahasiaan mengenai nasabah dan keuangannya tidak boleh dibuka (diungkapkan). Apabila terjadi pelanggaran terhadap kerahasiaan tersebut, Bank yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkannya.

Keberatan terhadap teori mutlak ini adalah terlalu individualis, artinya hanya mementingkan hak individu (perseorangan). Disamping itu, teori ini juga bertentangan dengan kepentingan umum, artinya kepentingan Negara atau masyarakat banyak dikesampingkan oleh kepentingan individu yang merugikan Negara atau masyarakat banyak. Dengan kata lain menurut teori ini,sifat mutlak rahasia bank sangat sukar untuk ditterobos dengan alasan apapun dan oleh hukum dan undang-undang sekalipun. Teori mutlak ini banyak dianut oleh bank-bank yang ada di Negara Swiss.

2.Teori Relatif (Relative Theory)

Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat relative (terbatas). Semua keterangan mengenai nasabahdan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan. Namun bila ada alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-undang, Rahasia Bank mengenai keuangan nasabah yang bersangkutan boleh dibuka (diungkapkan) kepada pejabat yang berwenang.

Keberatan terhadap teori ini adalah rahasia bank masih dapat dijadikan perlindungan bagi pemilik dana yang tidak halal, yang kebetulan tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum karena tidak terkena penyidikan. Dengan demikian dananya tetap aman.

Namun teori relative ini sesuai dengan rasa keadilan (sense of justice), artinya kepentingan Negara atau kepentingan masyarakat banyak tidak dikesampingkan begitu saja. Apabila ada alasan yang sesuai dengan prosedur hukum maka rahasia keuangan nasabah boleh dibuka (diungkapkan). Dengan demikian teori relative ini melindungi kepentingan semua pihak, baik individu, masyarakat maupun Negara. Teori ini di anut oleh bank-bank yang ada di Negara Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Di Indonesia teori relative ini diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

C.PENGECUALIAN RAHASIA BANK

Dalam Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan bahwa :
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”.

Kata “kecuali” diartikan sebagai pembatasan terhadap berlakunya Rahasia Bank. Mengenai keterangan yang disebut dalam pasal-pasal tadi Bank tidak boleh merahasiakannya (boleh mengungkapkannya) dalam hal sebagai berikut :

1.Untuk Kepentingan Perpajakan

Dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan :
“Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak”.

Untuk pembukaan (pengungkapan Rahasia Bank, Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menetapkan unsur-unsur yang wajib dipenuhi sebagai berikut :
a.Pembukaan Rahasia Bank itu untuk kepentingan perpajakan.
b.Pembukaan Rahasia Bank itu atas permintaan tertulis Menteri keuangan.
c.Pembukaan Rahasia Bank itu atas perintah tertulis Pimpinan Bank Indonesia.
d.Pembukaan Rahasia Bank ittu dilakukan oleh Bank dengan memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan yang namanya disebutkan dalam permintaan Menteri Keuangan.
e.Keterangan dengan bukti-bukti tertulis mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tersebut diberikan kepada pejabat pajak yang namanya disebutkan dalam perintah tertulis Pimpinaan Bank Indonesia.

2.Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank

Penyelesaian piutang Bank diatur dalam Dalam Pasal 41A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
a.Untuk penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan Nasabah Debitur.
b.Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara.
c.Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.

3.Untuk kepentingan Peradilan Pidana

Kepentingan peradilan Dalam Pasal 41A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
a.Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada Bank.
b.Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah agung.
c.Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksan atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.

4.Untuk kepentingan peradilan Perdata

Menurut ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 :
“Dalam perkara perdata antara Bank dengan nasabahnya, direksi Bank bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memnerikan keterangan lainnya yang relevan dengan perkara tersebut”.

Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa informasi mengenai keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dapat diberikan oleh Bank kepada pengadilan tanpa izin Menteri. Karena pasal ini tidak diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, maka penjelasannya perlu disesuiakan, yang memberi izin adalah Pimpinan Bank Indonesia.

5.Untuk keperluan Tukar-Menukar Informasi antar Bank

Tukar-menukar informasi antar Bank diatur Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
Ayat (1)
“Dalam rangka tukar-menukar informasi antar Bank, direksi Bank dapat memberitahkan keadaan keuangan nasabahnya kepada Bank lain”.

Dalam Penjelasannya dinyatakan :
“Tukar-menukar informasi antarbank dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha Bank antara lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari bank yang lain. Dengan demikian, Bank dapat menilai tingkat risiko yang dihadapi sebelum melakukan suatu transaksi dengan nasabah atau dengan Bank lain”.

Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi antarbank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia ayat (2). Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dalam ketentuan yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Bank Indonesia antara lain diatur mengenai tata cara penyampaian dan permintaan infprmasi serta bentuk dan jenis informasi tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti indicator secara garis besar dari kredit yang diterima nasabah, agunan dan masuk tidaknya debitur yang bersangkutan dalam daftar kredit macet.

6.Pemberian keterangan atas persetujuan nasabah,

Pemberian keterangan atas persetujuan nasabah penyimpan diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
a.Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis, Bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah Penyimpan pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang tunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.
b.Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yag bersangkutan yang berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 44A ayat (1), Bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan kepada pihak yang ditunjuknya, asal ada permintaan, atau persetujuan atau kuasa tertulis dari nasabah penyimpan yang bersangkutan, misalnya kepada penasehat hukum yang menangani perkara nasabah penyimpan. Sedangkan dalam ayat (2) ahli waris yang sah berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan bila nasabah penyimpan yang bersangkutan telah meninggal dunia. Untuk memperoleh keterangan, ahli waris harus membuktikan sebagai ahli waris yang sah.

D.PELANGGARAN RAHASIA BANK

Pelanggaran Rahasia Bank adalah perbuatan memberikan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, secara melawan hukum (bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan) atau tanpa persetujuan Nasabah Penyimpan yang bersangkutan. Pelanggaran Rahasia Bank dapat dilakukan karena paksaan pihak ketiga atau karena kesengajaan anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau Pihak terafiliasi lainnya.

1.Paksaan Pihak Ketiga

Paksaan Pihak ketiga diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
“Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa Bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta dendan sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)’.

Ancaman hukuman tersebut mulai dari yang paling rendah sampai kepada yang paling tinggi. Dengan demikian, apabila terbukti bahwa pihak ketiga itu secara melawan hukum telah melakukan pemaksaan agar nasabah penyimpan dan simpanannya, dia tidak akan luput dari hukuman, setidak-tidaknya hukuman pidana dan denda minimum, yang lama dan jumlahnya sudah ditetapkan oleh undang-undang.

2.Kesengajaan Pihak Bank atau Pihak Terafiliasi

Kesengajaan pihak Bank dilakukan oleh Anggota Dewan Komisaris, direksi, Pegawai Bank, atau Pihak Terafiliasi diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa :
“Anggota Dewan Komisaris, direksi, Pegawai Bank, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.

Dalam penjelasan pasal diatas dinyatakan bahwa yangh dimkasud dengan Pegawai Bank adalah semua pejabat dan karyawan Bank. Pihak Terafiliasi sebagaimana disebutkan dalam pasal diatas, diatas, menurut Pasal 1 angka (22) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 adalah:
a.Anggota Dewan Komisaris, pengawas pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan Bank;
b.Anggota pengurus, pengawas pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan Bank. Khusus bagi Bank berbentuk hukum Koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.Pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akunta public, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
d.Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan Bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus.

E.KELEMAHAN RAHASIA BANK

Simpanan Nasabah Penyimpan adalah sumber dana bagi Bank. Oleh karena itu, wajar jika undang-undang mengatur agar Bank melindungi nasabahnya, tetapi disis lain tentu ada juga Nasabah Penyimpan yang berstatus debitur beritikad jahat (bad faith), dengan berlindung di balik Rahasia Bank melakukan perbuatan tercela terhadap mitra bisnisnya, misalnya membayar dengan cek atau bilyet giro kosong. Mitra bisnis yang menerima cek atau bilyet giro kosong tersebut sudah tentu tidak mungkin mengetahui saldo simpanan Nasabah Penyimpan yang berstatus debitur itu karena dilindungi oleh Rahasia Bank. Hal semacam ini tentu akan mempengaruhi citra kepercayaan masyarakat terhadap Bank. Oleh karena itu menghadapi Nasabah Penyimpan yang beritikad jahad, Bank tidak perlu ragu melakukan tindakan black list dan kepada Bank Indonesia selaku pengawas dan Pembina perbankan. Penegakan hukum yang tegas justru meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank. (Abdulkadir Muhammad, “Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan”, Penerbit: PT. citra adtya bakti, Bandung, 2004, halaman 75-85).

Adanya dorongan untuk menjalankan kegiatan usaha secara profesional dan efisien, telah memjadikan suatu kewajiban bagi setiap perusahaan yang melakukan kegiatan bisnis untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan dengan baik. Berikut ini asas-asas yang terkandung dalam GCG:

Prinsip-prinsip dasar Good Corporate Governance yaitu:
1.Transparansi ( transparancy ) yaitu keterbukaan terhadap proses pengambilan keputusan, dan penyampaian informasi mengenai segala aspek perusahaan terutama yang berkaitan dengan kepentingan stakeholders dan publik secara benar dan tepat waktu;
2.Akuntanbilitas ( accountability ) yaitu kejelasan sistem pertanggungjawaban pengelola perusahaan (check and balances system) kejelasan pembagian tugas, wewenang dan tanggungjawab masing-masing organ-organ perusahaan yang diangkat setelah melalui fit and proper test, sehingga pengelolaan perusahaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien;
3.Pertanggungjawaban ( responsibility ) yaitu perwujudan kewajiban organ perusahaan untuk melaporkan kesesuaian pengelolaan perusahaan dengan pengaturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan dan keberhasilan maupun kegagalannya dalam pencapaian visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan, dengan kata lain bukan hanya kewajiban hukum tetapi juga kewajiban sosial, bukan hanya pada normative tapi juga kode etik;
4.Kemandirian ( independency ) yaitu suatu keadaan, perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun, terutama pemegang saham mayoritas, yang bertentangan dengan pengaturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat, setiap keputusan diambil berdasarkan objektivitas menghindari konflik kepentingan;
5.Kewajaran ( fairness ) yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, adanya tindakan pengelola perusahaan dalam menempatkan kedudukan para pihak yang setara.

Harmonisasi Wajah Hukum yang Lebih Bersahabat dengan Dunia Usaha

 Dimensi kehidupan manusia terutama manusia Indonesia tidak dapat kita pahami sebagai dimensi yang tunggal tetapi dimaknai sebagai monoplural,[1] karena manusia sebagai mahluk pribadi yang ada untuk dirinya sendiri terkait eksistensinya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki pikiran, kehendak bebas serta rasa sehingga menjadikan manusia itu mampu membedakan baik-buruk dengan bersandarkan pada nilai, yang pada hakikatnya ada pada manusia serta eksistensinya sebagai manusia yang ada karena ada manusia lainnya sebagai homo socius. Manusia tidak bisa lepas dari manusia lainnya, saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya secara jasmaniah sehingga dalam dirinya selalu berusaha untuk mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup (homo economicus) yang dimaknai secara kebendaan (materialism) dalam rangka menampilkan eksistensinya sebagai manusia monoplural.

Dalam rangka kebutuhan akan kebendaan (materialism) manusia melakukan berbagai upaya dalam bidang ekonomi sampai melintasi dimensi ruang dan waktu. Karena pada dasarnya terpenuhinya kebutuhan jasmaniah akan menciptakan kenikmatan bagi pribadi manusia secara rohaniah. Artinya pemikiran materialistis kebendaan manusia haruslah sejalan dengan kehendak manusia untuk tertib dan untuk bebas sebagai homo economicus, namun jika kehendak bebas ini sebagai realitas, bertentangan dengan kehendak bebas dari manusia lainnya maka keinginan untuk  tertib ini akan terusik dan menimbulkan kerugian, rasa aman dan nyaman dari manusia akan terancam sebab rasa aman dan nyaman juga merupakan bagian dari kebutuhan manusia secara rohaniah, yang artinya ketertiban dan kedamaian hidup bersama tidak tercapai yang mengakibatkan iklim dalam dunia usaha akan terganggu. Terganggunya iklim dunia usaha berarti mengurangi kebebasan manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi sebagai homo economicus. Tak pelak yang terjadi di Indonesia. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat pelaku bisnis serta para investor mampu dan dapat berpartisipasi secara maksimal dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi mengingat bahwa bangsa ini telah memiliki modal yang cukup untuk mengembangkan diri baik dari sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia sebagai kekuatan bangsa.

Perkembangan usaha swasta selama ini, disatu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan Pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional yang kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik.[2]

Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat juga investor, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.

Dalam teori Talcott Parsons, ekonomi merupakan institusi adaptif yang utama pada tingkat organisasi sistem sosial.[3] Dapat diasumsikan bahwa kekuatan penggerak utama yang mendorong pembangunan sistem hukum di dalam masyarakat datang dari bidang ekonomi. Segera setelah perekonomian mampu untuk menghasilkan surplus produksi yang melampaui kebutuhan, maka banyak terjadi pertukaran barang-barang. Artinya permasalahan ekonomi menjadi salah satu permasalahan yang mendasar di Indonesia. Iklim dunia usaha yang kondusif menjadi faktor utama kemajuan suatu bangsa. Namun hal ini tidak dapat terjadi dengan sendirinya, harus ada upaya yang dilakukan untuk menciptakan suasana investasi yang aman bagi para investor. Hukum menjadi faktor pengintegrasi untuk menjamin rasa aman tersebut. Hukum dilihat dalam perpektifnya yang luas sebagai suatu sistem tatanan sosial kemasyarakatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan satu dengan yang lain.

Soerjono Soekanto (1984) mengatakan hukum itu mengalir ke segenap sudut kebudayaan tanpa batas-batas yang nyata. Hukum sebenarnya tak dapat dibedakan secara tajam dari bentuk perilaku lain dari manusia.[4] Hukum adalah suatu kesatuan dimensi sistem yang kompleks, hukum dalam perspektif dogmatic hukum berarti peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, juga perilaku masyarakatnya. Artinya bahwa dalam mendefinisikan dan merumuskan hukum itu tidak hanya bersandar pada ide-ide atau pikiran orang yang bijak tetapi kenyataan yang ada dalam masyarakat pun turut menjadi salah satu faktor dalam perumusan atau pendefinisian hukum yang baik. Hukum yang memberikan rasa aman bagi dunia usaha adalah hukum yang didukung oleh produk perundang-undangan yang baik, penerapan yang baik, serta penegakan yang baik pula. Produk perundang-undangan yang baik hanya akan dihasilkan melalui proses politik hukum yang baik yang dilakukan olah manusia Indonesia. Penerapan hukum dan penegakan hukum berkorelasi dengan aparat serta budaya masyarakat Indonesia sehingga akan terwujud jaminan atas rasa aman serta kepastian hukum dalam dunia usaha bagi para investor. Dengan kata lain sumber pambaruan hukum itu harus dimulai dari pembaruan manusia Indonesia, manusia Indonesia sebagai pribadi, manusia Indonesia yang diberi kekuasaan dalam lembaga legislative, eksekutif maupun yudikatif melalui proses vactum unionis untuk kemudian terwujud dalam suatu masyarakat Indonesia yang membudaya. Manusia sebagai elemen utama pembaruan hukum Indonesia baik secara pribadi maupun kelembagaan.

Satjipto Raharjo (2008) mengatakan bahwa kepastian hukum itu memang merupakan suatu keadaan yang merupakan usaha dan perjuangan dan tidak datang secara otomatis, begitu suatu undang-undang atau peraturan lain diterbitkan. Kepastian hukum merupakan fenomena psikologi dan budaya daripada hukum.[5] Kepastian hukum itu berhubungan dengan soal perilaku. Kepastian hukum terkait dengan dunia usaha yang kondusif bagi investor dimulai dari komitmen manusia Indonesia sebagai manusia seutuhnya dan seluruhnya baik secara pribadi dan kelembagaan (Negara) untuk memberikan jaminan rasa aman dan nyaman bagi para pelaku bisnis dalam dunia usaha di Indonesia tanpa meninggalkan ciri dan karakternya sebagai kekuatan bangsa.

 


[1] Bahan Kuliah Filsafat Hukum Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UNSRI, 2012

[2] Mustafa Kamal Rokan, 2010, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, Hlm :14-16

[3] Talcott Parson dalam Bernard.L.Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu), Yogyakarta: Genta Publishing, Hlm: 152-153

[4] Soerjono Soekanto, 1984, Antropologi Hukum: Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat, Jakarta: Rajawali Press, hlm:8.

[5] Satjipto Raharjo, 2008, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Kompas, hlm:81.

Sampingan  —  Posted: Oktober 19, 2012 in Bidang Hukum

Perkembangan hukum sehingga mencapai bentuknya yang modern sekarang ini memberikan pelajaran yang sangat penting, yaitu tentang adanya struktur sosial dari hukum.[1] Hal ini memberikan pesan bahwa hukum adalah bagian dari sistem sosial kemasyarakatan yang tidak steril. Hukum merupakan hasil dari interaksi antara pengorganisasian masyarakat dan kekuatan-kekuatan lain seperti ekonomi dan politik. Menurut Robert M. Unger,  hukum merupakan pranata kemasyarakatan (tatanan kemasyarakatan) yang mana basis utamanya adalah kenyataan dalam masyarakat.[2] Van Vollenoven juga berpendapat bahwa hukum itu tidak lain adalah kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang tarik-menarik dan dorong-mendorong satu sama lain.[3]

            Hukum adalah suatu gejala sosial yang nyata lahir dari realita dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum di pandang sebagai suatu gejala yang nyata merupakan perwujudan dari kebutuhan masyarakat akan suatu ketertiban dan keteraturan dalam pergaulan hidup masyarakat. Hukum selain dipandang sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat (control social), hukum juga berfungsi sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substansial.

            Sistem sosial kemasyarakatan yang bersifat dinamis akan selalu menghendaki terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat yang menjadi karakteristik dari masyarakat modern. Perubahan ini menjadi tantangan bagi hukum dan oleh karenanya harus dijawab oleh hukum. Dengan memberikan jawaban atas perubahan sosial masyarakat artinya bahwa hukum telah melakukan adaptasi. Ketika hukum tidak mampu melakukan adaptasi maka terjadilah keruntuhan hukum. Hal ini juga memberikan indikasi bahwa sebenarnya hukum itu tertinggal dibelakang perkembangan objeknya sendiri yaitu sistem sosial kemasyarakatan.

Bahwa hukum sebagai gejala sosial yang riil  akan menjadi suatu kebutuhan jiwa manusia sebagai anggota unit kelompok secara khusus dan unit kemasyarakatan secara umum untuk mewujudkan ketertiban, keadilan dan keamanan dalam setiap gerak dinamis sistem kemasyarakatan. Maka sebagai suatu bentuk perwujudan kehendak, hukum akan selalu berubah (dinamis) mencari bentuk persesuaian bentuknya pada dimensi ruang dan waktunya yang tepat, termanifestasi sebagai gejala sosial yang utuh dan mengiringi setiap kedinamisan dalam sistem kemasyarakatan yang kompleks sebagai suatu perwujudan kehendak dari kebutuhan jiwa manusia sebagai makluk sosial.

Kompleksitas suatu masyarakat dimulai dari pembagian sumber-sumber daya di situ kemudian menimbulkan struktur kekuasaan dalam masyarakat yang berlapisan. Di sana dijumpai golongan yang memperoleh kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya dan oleh karena itu juga bisa mendapatkan kekayaan ekonomi dan  politik yang lebih besar. Tercapailah suatu perlapisan dalam masyarakat berupa perbedaan dalam kedudukan-kedudukan soaial, politik dan ekonomi. Ketika perlapisan sosial ini terjadi dalam kompleksitas masyarakat maka secara otomatis hukum sulit untuk mempertahankan netralitas kedudukannya yang tidak memihak. Perlapisan sosial ini merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersikap diskriminatif, baik pada peraturan perundang-undangannya sendiri, maupun melalui penegakannya.[4] Artinya hukum bukanlah sesuatu yang tidak memihak, sebab hukum merupakan hasil dari suatu bantuan atau perjuangan kekuasaan dalam masyarakat.

Lawrance.M. Friedman dengan teorinya mengatakan bahwa sistem hukum merupakan kesatuan antara substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Komponen hukum yang tidak berbentuk peraturan formal maupun institusi-institusi melainkan suatu yang lebih bersifat spriritual disebut budaya hukum. Budaya hukum itu berupa nilai-nilai, tradisi, dan lain-lain kekuatan spiritual yang menentukan bagaimana hukum itu dan dijalankan dalam masyarakat. Suatu bangsa bisa menggunakan suatu sistem hukum tertentui tetapi apakah dalam kenyatan ia akan digunakan adalah soal yang lain dan hal itu berkaitan dengan budaya hukumnya.[5] Oleh karenanya dalam rangka memahami suatu hukum suatu bangsa secara lengkap tidak hanya dilakukan melalui pengamatan terhadap sistem formalnya, melainkan sampai pada budaya hukumnya. Dengan kata lain budaya hukum merupakan semacam kekuatan yang menggerakkan bekerjanya hukum. Hukum sangat dipengaruhi oleh yang namanya subsistem sosial budaya. Hukum tidak bisa dilepaskan dari subsistem ini, hukum menjadi aspek yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek sosial budaya.


[1] Satjipto Raharjo, 2004, Ilmu Hukum : Pencarian, Pembebasan dan Penverahan, Surakarta : Universitas Muhammadiyah Press, hlm: 76

[2] Robert. M. Unger, Ibid.

[3] Van Vollenhoven dalam Satjipto Raharjo, 2004, Ilmu Hukum : Pencarian, Pembebasan dan Penverahan, Surakarta : Universitas Muhammadiyah Press, hlm: 25

[4] Satjipto Raharjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm: 151-152

[5] Satjipto Raharjo, 2004,  Ibid, hlm:79

Sampingan  —  Posted: Oktober 19, 2012 in Bidang Hukum

Politik merupakan salah satu masukan (input) dalam sistem sosial. Menurut Mahfud.MD dalam bukunya menyatakan bahwa relasi antara politik dengan hukum, dalam pandangannya bahwa suatu proses dan konfigurasi politik dan rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang dilahirkan. Dalam Negara konfigurasi politiknya demokrasi, produk hukumnya berkarakter responsive dan populistik. Sedangkan Negara yang konfigurasinya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif-elitis.[1]

Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum. Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek sebagai proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.[2] Hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena perbenturan dan pergumulan antar-kepentingan.

Badan pembuat undang-undang merupakan representasi konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang.

            Dalam pandangan relisme hukum, hukum itu tidak selalu sebagai perintah dari penguasa Negara, sebab hukum dalam perkembangannga selalu dipengaruhi oleh berbagai aspek. Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam kehidupan bersama dalam suatu masyarakat. Hukum pada dasarnya tidak bebas nilai (steril) dari subsistem kemasyarakatannya. Politik sebagai salah satu subsistem kemasyarakatan seringkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaannya. Talcoot Parson dalam Modern Sociological Theory menyatakan bahwa subsistem politik merupakan proses untuk mencapai tujuan (goals pursuance)[3] dari kepentingan-kepentingan. Politik bersangku-paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Tugasnya adalah pendayagunaan kekuasaan dan kewenangan untuk mencapai tujuan.[4]

            Dalam perspektif bahwa hukum sebagai suatu subsistem sosial kemasyarakatan yang tidak bebas nilai, artinya bahwa hukum juga dipengaruhi oleh subsistem politik. Institusi-institusi politik yang didirikan menjadi wahana untuk mencapai goals pursuance yang memberikan input untuk kemudian melalui proses politik menghasilkan output berupa produk hukum dimana dalam proses politik itu terjadi pertarungan kepentingan. Di Negara modern, proses politik akan sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan partai politik yang saling bertarungan dalam mempertahankan dan memperjuangkan ideologi serta kepentingan partai politik. Partai politik diasosiasikan sebagai sarana kekuatan kelompok masyarakat infrastruktur dalam rangka memperjuangkan kepentingannya pada Negara. Selain Partai politik, kekuatan-kekuatan politik dari sistem kemasyarakatan juga diinstitusikan dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang merupakan organisasi kemasyarakatan di luar sistem pemerintahan. Selain itu juga politik tidak hanya identik dengan institusi kekuasaan yang berada dalam sistem pemerintahan (suprastruktur), tetapi terdapat pula sekumpulan orang yang mempunyai visi berbeda dengan kelompok supra struktur, kelompok ini disebut kelompok penekan (pressure group) yang mengkritisi kebijakan pemerintah apabila menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. Pergulatan antara kelompok infrasrtuktur dan suprastruktur akan mewarnai politik hukum suatu bangsa. Artinya bahwa hukum akan sangat terpengaruh dengan kondisi serta pertarungan nilai dari institusi-institusi politik suatu Negara. Sebagaimana dikatakan oleh Mahfud MD bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legislasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing baik melalui kompromi politik atau dominasi kekuatan politik yang terbesar.


[1] Mahfud MS, 2011,  “Politik Hukum di Indonesia”. Rajawali Press. Jakarta, Hlm:15

[2] Sri Wahyuni, 2003. “Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam)”, Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah. Hlm: 74

[3] Ronny Hanitijo Soemitro, 1998, Politik, Kekuasaan dan Hukum, Semarang: Universitas Diponegoro, hlm: 59

[4] Talcott Parson dalam Bernard.L.Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu), Yogyakarta: Genta Publishing, hlm: 152-153

Sampingan  —  Posted: Oktober 19, 2012 in Bidang Hukum

Dalam perkembangan kehidupan manusia, hukum dan bisnis tumbuh secara beriringan dalam hubungan yang komplementer sejalan dengan perubahan masyarakat dari masyarakat tradional menjadi masyarakat modern, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrialis. Hukum telah berkembang sebagai suatu tatanan dan sistem yang bertujuan untuk menjamin kebebasan di satu sisi dan ketertiban di sisi lainnya dari suatu tatanan dan sistem yang semula hanya berfungsi sebatas untuk memenuhi kebutuhan komunitas lokal menjadi sarana pengontrol kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada skala nasional.

Perubahan sosial ini mensyaratkan perubahan perilaku kehidupan di bidang ekonomi dan bisnis masyarakat. Henry Maine menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan transformatif masyarakat bisnis dari organisasi kemasyarakatan yang tersusun berdasarkan status-status yang digantikan dengan organisasi kehidupan yang baru yang lebih tersusun berdasarkan kontrak-kontrak yang dibuat oleh dan untuk para warga sendiri. Transformasi ini kemudian di nyatakan dalam satu pernyataan form status to conctract.[1] Perkembangan transformative (dari lokal ke nasional) yang menjadi tuntutan dunia industial dengan perubahan sosialnya di status ke kontrak menyebabkan terjadinya perubahan di dunia hukum (yang merefleksikan perubahan structural dari normatifnya).[2]

Memasuki millennium ketiga, wajah ekonomi dan dunia bisnis mengalami transformasi pascaindustrial dari skala nasional ke skala yang lebih luas yaitu regional bahkan global. Atau dikenal dengan globalisasi. Globalisasi yang membawa arus materialisme dan kapitalisme telah merubah wajah dunia kepada penguasaan sumberdaya alam. Ada kecenderungan dunia ekonomi yang kembali mengarah pada penguasaan oleh pihak yang berkuasa dalam konteks ini adalah pemilik modal membawa kepada perubahan wajah produk hukum suatu Negara yang secara otomatis mengubah wajah Negara tersebut. Oppenheimer menyatakan bahwa ekonomi dan politik dalam perkembangannya adalah sebagai sebuah kesatuan irama, dengan setidaknya dua tema yang berkaitan erat, bagaimana politik menentukan aspek-aspek ekonomi dan bagaimana institusi-institusi ekonomi menentukan proses politik.[3] Talcott Parsons dalam teorinya Modern Sociological Theory, ekonomi merupakan institusi adaptif yang utama pada tingkat organisasi sistem sosial.[4] Dapat diasumsikan bahwa kekuatan penggerak utama yang mendorong pembangunan sistem hukum di dalam masyarakat datang dari bidang ekonomi. Segera setelah perekonomian mampu untuk menghasilkan surplus produksi yang melampaui kebutuhan, maka banyak terjadi pertukaran barang-barang. Hukum menjadi faktor pengintegrasi.

Dalam perkembangan ekonomi yang kian trasnformatif dari nasional ke global mengisyaraktkan bahwa hukum nasional seakan tidak berdaya untuk menjangkau dan mengonterol kehidupan bisnis yang sudah bersifat multinasional dengan kegiatan-kegiatan bisnisnya yang bersifat transnational corporate dan berskala global yang pada saat ini juga sedang beranjak memasuki bidang politik dan sosial budaya sebagai nongovernment organizations. Akibatnya menurut Dezalay akan terbentuk yang namanya lex mercatoria (hukum transnasional yang terwujud sebagai hasil hubungan interaksional antar actor dalam aktivitas pasar global) akan terbukti lebih fungsional.[5]

Banyaknya konvensi-konvensi internasional di bidang ekonomi menjadi tanda bahwa globalisasi secara tidak langsung menjadi faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum nasional dan tidak dapat dihindari bahwa  hukum nasional harus menyesuaikan diri terhadap proses transformative dunia ekonomi dan bisnis yang semakin pesat dan maju. Banyak hukum nasional yang dipengaruhi oleh hukum global, salah satunya melalui ratifikasi konvensi internasional. Konvensi di bidang HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) yang diratifikasi melalui Undang-undang nomor 7 tahun 1994 adalah Trade-Related aspects of Intelectual Property rights (TRIPs) menjadi bukti bahwa hukum dipengaruhi oleh dunia global. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang merupakan hasil consensus dengan International Monetery Fund (IMF) sebagai komitmen reformasi hukum pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Secara hubungan Internasional, lahir dan berlakunya UU No.5 Tahun 1999 juga merupakan konsekuensi atas diratifikasinya perjanjian Marrakesh oleh DPR dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 yang mengharuskan Indonesia membuka diri dan tidak boleh memberikan perlakuan diskriminatif, seperti pemberian proteksi terhadap entry barrier suatu perusahaan dan adanya tekanan IMF yang telah menjadi kreditor bagi Indonesia dalam rangka membatasi krisis moneter yang telah dahsyat melanda dan menjadikan terpuruknya ekonomi Indonesia secara luas.[6] Hal ini memperjelas bahwa pembentukan hukum nasional tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor ekonomi yang sudah merambah ke dunia global melalui organisasi bisnis yang berskala global.


[1] Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Masalah, Jakarta: ELSAM dan HUMA, hlm: 291-292

[2] Ibid, hlm:293

[3] Joe.Oppenheimer dalam Mustafa Kamal Rokan, 2010, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, Hlm : hlm:17

[4] Talcott Parson dalam Bernard.L.Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu), Yogyakarta: Genta Publishing, Hlm: 152-153

[5] Soetandyo Wignjosoebroto, Op.cit. hlm: 300

[6] Remy Sjahdeni dalam Mustafa Kamal Rokan,  Mustafa Kamal Rokan, 2010, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, Hlm :19.

Sampingan  —  Posted: Oktober 19, 2012 in Bidang Hukum

1. Konsepsi Kelembagaan dan Peranan Kelembagaan

Kelembagaan mengandung dua pengertian yaitu menurut institusi/pranata dan organisasi. Pengertian kelembagaan sebagai organisasi lebih mudah dikenali dalam bentuk nyata seperti KUD, bank pemerintahan, dan sebagainya. Sedangkan pengertian sebagai pranata dapat dikenali melalui pemahaman unsur-unsurnya. Kelembagaan sebagai arti institusi/pranata mengandung empat unsur pokok, yaitu aturan main (rule of game), pengaturan hak dan kewajiban (property right), batas yurisdiksi/ikatan serta adanya sanksi. Aturan main menyangkut pada bagaimana seharusnya dilakukan. Property right menyangkut pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang dan apa yang diperolehnya. Ciri-cirinya adalah adanya struktur, tujuan yang jelas, mempunyai partisipasi, teknologi dan sumber daya (Murniningtyas, 2005).

Menurut Arkadie (1989) dan Pakpahan (1990) dalam Adriani et al (2005), kelembagaan ditinjau dari sudut organisasi diartikan sebagai wujud kongkrit yang membungkus aturan main seperti bank, koperasi, PIR dan sebagainya. Dari sudut pandang ekonomi, kelembagaan dalam arti organisasi biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan melalui mekanisme administrasi atau komando. Kelembagaan merupakan suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap masyarakat sebagai sumber daya dan tingkah laku anggotanya. (Pakpahan, 1990).
Kelembagaan merupakan rule of the game dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, atau secara lebih formal merupakan aturan yang membatasi dalam bentuk interaksi manusia. Selain itu kelembagaan juga merupakan aturan prosedur yang menentukan bagaiamana manusia bertindak, dan atau berperan sebagai secara organisatoris yang bertujuan untuk memperoleh status atau legitimasi tertentu. Oleh karena itu, kelembagaan merupakan suatu sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Pentingnya analisis kelembagaan tentunya tidak semata mandasarkan pada aspek yang lain, bahkan dalam pendekatan ekonomi kelembagaan dikatakan bahwa institutional arangements adalah menyangkut bagaiamana suatu kebijakan publik (public policy) dapat diorganisir dan dioperasinalisasikan untuk kepentingan public (Daryanto, 2005).

Menurut Goldsmith dan Brikenholf (1991) dalam Daryanto (2005), menyatakan bahwa kelembagaan merupakan aturan prosedur yang menentukan bagaimana manusia bertindak dan atau peranan organisasi yang bertujuan untuk memperoleh status atau legitimasi tertentu. Peraturan dan peran dapat dilembagakan sebagai peraturan atau perundang-undangan dan sebagai organisasi yang konkrit. Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang memayungi aturan main tersebut seperti yang dilakukan pemerintah, bank koperasi, pendidikan, tataniaga, dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan, sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak.

Ibrahim (2003) menyatakan bahwa ada tiga unsur dalam lembaga kemasyarakatan, yaitu ; (1) Sistem norma yang terdiri dari jumlah norma dalam segala tindakan, (2) Tindakan berpola, (3) kebutuhan manusia dalam kehidupan masyarakat. Serangkaian norma-norma yang mengikat segala tindakan akan membentuk suatu sistem norma. Sistem norma memberi arahan bagaimana individu itu bertindak sebagai secara benar sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Sebagai contoh, lembaga keuangan mikro yang ada di pedesaan dipastikan akan memberi berbagai aturan yang mengikat kepada nasabahnya, dalam hal ini petani. Bagi petani yang ingin memanfaatkan pembiayaan dari lembaga keuangan mikro harus melalui tata cara pemohonan dan penilaian yang ketat, seperti melengkapi persyaratan administrasi, memberi agunan, laporan kelayakan usaha, dan sebagainya. Hal ini menyebabakan petani pada akhirnya dapat menduga tindakan apa yang harus dilakukan jika ingin menggunakan pembiayaan dari lembaga keuangan di pedesaan. Hal ini bersifat periodic dan sudah merupakan perilaku yang tetap sehingga membentuk tindakan yang berpola. Sistem kelembagaan keuangan yang mengatur tindakan-tindakan petai pada dasarnya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan petani dalam berproduksi, terutama dalam hal pemenuhan modal. 

Menurut Soerjono (2002), Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan atau status. Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya, maka seseorang tersebut menjalankan peranannya. Antara kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan, tidak ada peranan tanpa kedudukan. Kedudukan tidak berfungsi tanpa peranan. Peranan merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang, karena dengan peranan yang dimilikinya seseorang tersebut dapat mengatur perilaku dirinya dan orang lain. Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu. Dengan menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisinya yang didudukinya tersebut. 

2.Konsepsi Kemitraan

Kemitraan adalah kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak untuk mencapai cita-cita bersama dalam jangka waktu yang panjang. Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) adalah kemitraan antara kebun inti dan kebun plasma, terjadinya proses pola kemitraan ini di mulai dari pembebasan lahan, penanaman tanaman perkebunan, pemeliharaan tanaman yang belum menghasilkan, pemanenan, pemeliharaan tanaman yang sudah menghasilkan dan pembayaran angsuran kredit oleh pettani plasma (Hadi, S.B, 1995)

Menurut Sunarko (2009) Kemitraan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) merupakan kemitraan perkebunan generasi pertama yang dimulai pada tahun 1980-an. Program PIR merupakan pola pengembangan perkebunan rakyat dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti dan sekaligus sebagai pelaksana pengembangan kebun plasma. Pola ini awalnya dibangun Perusahaan Perkebunan Negara untuk masyarakat di wilayah pedesaan.

Dalam pola ini, perkebunan besar membangun kebun inti, pabrik, lalu membangun plasma. Secara rinci, pekerjaan pembangunan program PIR meliputi tiga tahap. Tahap pertama, perusahaan inti melaksanakan pembangunan kebun. Pada tahap kedua, dilakukan pengalihan kebun kepada petani plasma dan akad kredit konversi. Selanjutnya, tahap ketiga dilakukan pengembalian atau pelunasan kredit (hutang petani).

Tanaman kelapa sawit dikonversi kepada masyarakat (petani plasma) setelah cukup dirasakan cukup menghasilkan, disertai tanggung jawab untuk memelihara kebun dan mengelola usaha taninya. Petani plasma yang diberi tanggung jawab untuk mengembalikan kredit investasi pembangunan kebun plasma kepada pihak perbankan.
Pada pola kemitraan, seluruh biaya yang menyangkut pengembangan unit kebun mitra menjadi hutang dari masing-masing peserta mitra yang memperolehnya, dan harus dibayar kembali (dicicil dari pendapatan yang diperoleh dari hasil perkebunannya/penjualan TBS) dengan masa tenggang cukup panjang serta menurut jadwal dan persyaratan-persyaratan yang cukup ringan (Maruli, 2011).
Menurut (Junaidi 2010) dalam memilih pola kemitraan di bidang perkebunan tentunya harus tetap sejalan dengan dengan kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang berkaitan dengan kesempatan kerja , pemasok bahan baku industri, peningkatan produktivitas, peningkatan pendapatan. Perlu pula diperhatikan kelemahan petani yang umummnya meliputi teknologi, modal, akses pasar, pengolahan hasil, SDM, kelembagaan dan produktivitas. Berdasarkan berbagai faktor tersebut maka dapat disarankan bahwa kemitraan pola PIR lebih tepat untuk terus dikembangkan pada pembangunan dibidang perkebunan. Dengan demikian pendekatan sektor agribisnis dan agroindustri harus tetap dikembangkan.
Menurut (Tomori, 2011) Kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) merupakan kemitraan perkebunan generasi pertama yang dimulai tahun 1980an. Pola PIR ini merupakan pola pengembangan perkebunan rakyat dengan menggunakan perkebunan besar sebagi inti dan sekaligus sebagai pelaksana pengembangan kebun plasma. Pola ini awalnya dianut oleh Perseroan Terbatas Perkebunan Negara (PTPN) untuk masyarakat di wilayah pedesaan.

3.Konsepsi Perusahaan Inti Rakyat (PIR)

Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan adalah suatu pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan terdiri dari perusahaan inti dan kebun plasma, perusahaan inti adalah perusahaan perkebunan besar baik milik swasta maupun milik Negara yang ditetapkan sebagai pelaksana proyek PIR, sedangkan kebun plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti dengan tanaman perkebunan yang diperuntukkan bagi petani peserta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1990). 

Pola Perusahaan Inti Rakyat atau disingkat PIR adalah pola Pelaksanaan Pengembangan Perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan kesinambungan (WordPress, 2010).

Tujuan dari pelaksanaaan PIR ini akan tercapai jika masing-masing pihak yang bermitra akan peranan dan kewajibannya masing-masing. Perusahaan inti harus dapat menyadari akan peranannya sebagai agent of development dalam menggerakan petani untuk dapat meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan keterampilan. Sebaliknya petani harus sadar akan perannya sebagai individu atau kelompok untuk berpartisipasi aktif. Untuk terciptanya kondisi kerjasama yang harmonis perlu masing-masing pihak menyadari keseimbangan hak dan keawajibannya.

Hak-hak petani sebagai peserta proyek PIR
1.Memperoleh lahan kebun lebih kurang 1,5 – 2 ha.
2.Memperoleh perumahan, lahan pekarangan dan lahan pangan sesuai pola pengembangan PIR-BUN dan situasi setempat.
3.Memperoleh sertifikat tanah hak milik yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional, yang untuk sementara menjadi agunan kredit dibentuk Bank.
4.Memperoleh bimbingan, penyuluhan dan latihan dalam berusaha tani.
5.Memperoleh jamnan penjualan hasil usaha tanaman pokok.
6.Memanfaatkan fasilitas umum : sekolah, puskesmas, rumah ibadah dan lain-lain yang disediakan.

Berdasarkan konsep PIR petani peserta mempunyai kewajiban yang harus dilakukan. 

Kewajiban petani peserta antara lain :
1.Menanda tangani perjanjian kerja dengan pemimpin proyek PIR.
2.Memelihara kebun dengan baik sesuai petunjuk perusahaan inti
3.Memanfaatkan lahan pangan dan lahan pekarangan dengan baik.
4.Menjual seluruh hasil tanaman pokok dengan mutu yang baik kepada Perusahaan Inti sesuai dengan perjanjian produksi dan jual beli hasil kebun.
5.Mematuhi kewajiban pembayaran kembali hutang-hutangnya sampai lunas dari hasil penjualan produksi petani kepada Perusahaan Inti
6.Menjadi anggota kelompok tani dan Koperasi Unit Desa.

Perusahan Inti juga mempunyai kewajiban pada petani peserta, kewajiban tersebut antara lain :
1.Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis dalam pemeliharaan, panen dan pemasaran hasil tanaman pokok serta membantu usaha tani tanaman pangan dan pekarangan
2.membantu penerbitan Sertifikat Tanah atas nama petani peserta
3.Menampung dan membeli hasil kebun petani dengan harga sesuai ketetapan pemerintah serta membantu kelancaran pengambilan kredit petani
4.Mempersiapkan pelaksanaan konversi
5.Turut membina Petani Peserta melalui Kelompok Tani dan KUD sehingga menjadi mitra kerja yang tangguh dan mandiri.

4.Konsepsi Petani Plasma

Petani plasma adalah petani lokal atau transmigran yang menerima kredit dari pemerintah dalam bentuk kebun. Petani plasma berkewajiban untuk mengelola kebun yang dimiliki dengan baik sesuai bimbingan perusahaan inti, menjual hasil produksi kebun kepada perusahaan inti, dan melunasi kredit. Unntuk mengkoordinasi pengelolaan kebun, penerapan teknologi, pengadaan sarana produksi, dan mewakili petani dalam berhubungan dengan perusahaan inti dibentuk Kelompok Tani dan Koperasi Unit Desa (KUD) (Departemen Pertanian, 1998).
Menurut Deptan (1990), petani plasma adalah petani yang ditetapkan sebagai penerima kebun plasma dan berdomisili diwilayah plasma. Kebun plasma merupakan areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti dengan tanaman perkebunan yang diperuntukkan bagi petani peserta.

Beberapa hak yang diperoleh petani plasma dari suatu perusahaan inti adalah sebagai berikut:
1.Memperoleh lahan kebun lebih kurang 1,5 – 2 ha.
2.Memperoleh sertifikat tanah hak milik yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional, yang untuk sementara menjadi agunan kredit Bank.
3.Memperoleh bimbingan, penyuluhan dan latihan dalam berusahatani.

Disamping itu petani plasma juga harus memenuhi beberapa kewajiban yang telah digariskan oleh perusahaan inti yaitu :
1.Menandatangani perjanjian kerja dengan pemimpin proyek perusahaan inti rakyat.
2.memelihara kebun dengan baik sesuai petunjuk inti atau petugas penyuluh.
3.Menjual seluruh tanaman pokok dengan mutu yang baik kepada perusahaan inti sesuai dengan perjanjian produksi dan jual beli hasil kebun.
4.Memenuhi kewajiban pembayaran kembali hutang-hutangnya sampai lunas dari hasil penjualan produksi petani kepada perusahaan inti sesuai dengan akad kredit Bank.
5.Menjadi anggota Kelompok Tani dan KUD.

Produk Perbankan Syariah

Posted: April 5, 2012 in Seri Hukum Bisnis

Bank  syariah memiliki peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara unit-unit ekonomi yang mengelami kelebiahan dana (surplus units) dengan unit-unit usaha yang lain yang mengalami kekurangan dana (deficit units). Melalui bank, kelebihan tersebut dapat disalurkan kepada piha-pihak yang memerlukan sehingga memberikan menfaat kepada kedua belah pihak. Kualitas bank syariah sebagai lembaga perantara ditentukan oleh kemampuan manajemen bank untuk melaksanakan perannya.

Dalam bank syariah, hubungan antara bank dengan nasabahnya bukan hubungan debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan (partnership) antara penyandang dana (shohibul maal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu, tingkat laba bank syariah tidak saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham tetapi juiga berpengaruh terhadap bagi hasil yang dapat diberikan kepada nasabah penyimpan dana. Hubungan kemitraan ini merupakan bagiannya yang khas dari proses berjalannya mekenisme bank syariah.

Untuk memenuhi kebutuhan modal dan pembiayaan, bank syariah memiliki ketentuan-ketentuan yang berbeda dengan bank konvensional. Secara umum, piranti-piranti yang digunakan bank syariah terdiri atas tiga kategori, yaitu :

1)     Produk penyaluran dana (financing)

2)     Produk penghimpunan dana (funding)

3)     Produk jasa (services)

  1. 2.     SUMBER DANA

Sumber dana bank syariah dapat diperoleh dari empat sumber yaitu : modal, titipan, investasi dan investasi khusus. Secara sederhana, sumber dana bank syariah dapat digambarkan sebagai berikut:

2.1.    Al-Wadiah (Titipan)

Al-wadiah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk diperlihara dan dijaga. Dari aspek teknis, wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki.

Landasan Hukum

Al-Qur’an :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisaa : 58)

“Jika sebagian kamu memercayai sebagain yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah : 283)

Al- Hadist :

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah (tunaikan) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianati.” (HR. Abu Daud).

Ibnu Umar berkata bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda, “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci.” (HR. Thabrani).

Teknis Perbankan

1)     Prinsip wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamamah yang diterapkan pada produk rekening giro.

2)     Wadiah Dhamamah berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi.

3)     Sedangkan dalam hal wadiah dhamamah pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.

4)     Karena wadiah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad dhamamah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.

Ketentuan Umum

1)     Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedangkan pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.

2)     Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan dimuka.

3)     Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan denan prinsip syariah. Khususnya bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro dan bebit card.

4)     Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti administrasi untuk sekedar menutupi biaya

2.2.    Mudharabah (Investasi)

 2.2.1.   Al-Mudharabah

Dalam mengaplikasikan mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shohibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan untuk melakukan pembiayaan mudharabah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini akan dibagihasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Bila bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan maka bank bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi.

2.2.2.   Al-Mudharabah Mutlaqah

Penerapan al-mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan mudharabah sehingga terdapat dua jenis bentuk penghimpunan dana yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.

Teknis Perbankan

1)     Bank wajib memebriitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara risiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.

2)     Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) depposito kepada deposan.

3)     Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenankan mengalamu saldo negative.

4)     Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati, 1,3,6,12 bulan. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diberlakukan sama seperti deposito baru, tetapi nilai pada akad sudah tercantum perpanjangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.

5)     Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

2.3.    Mudharabah Mutlaqah Muqayyadah (Investasi Khusus)

 2.3.1.   Al-Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet

Jenis mudharabah ini meupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya, disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.

Teknis Perbankan

1)     Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank, dan bank wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.

2)     Wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara risiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.

3)     Sebagai tanda bukti simpanan bank menrbitkan bukti simpanan khusus, bank wajib menisbahkan dana dari rekening lainnya.

4)     Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.

2.3.2.   Al-Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet

Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam  mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.

Teknis Perbankan

1)     Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada porsi tersendiri dalam rekening administrasi.

2)     Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.

3)     Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.

Buku : Heri sudarsono, “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi)”, Penerbit : Ekonesia, 2008, hal :63

Lembaga Keuangan

Posted: April 5, 2012 in Seri Hukum Bisnis
  1. A.      LEMBAGA KEUANGAN

Pada prinsipnya kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan sektor keuangan (financial sector). Sektor keuangan ini dikelola oleh lembaga keuangan yang digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu Lembaga Keuangan Bank (LKB) dan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB). Lembaga Keuangan Bank adalah lembaga yang bergerak di bidang jasa keuangan yang melakukan kegiatan usaha bank yaitu menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat secara langsung, sedangkan lembaga keuangan non bank adalah lembaga keuangan yang bergerak di bidang jasa keuangan yang melakukan kegiatan usaha menghimpun dan menyalurkan dana secara tidak langsung kepada masyarakat.

Lembaga keuangan bukan bank dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: Lembaga pembiayaan dan Lembaga keuangan lainnya. Menurut Pasal 1 butir b Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 84/2006 jo. Pasal 1 butir 5 Keputusan Presiden Nomor 61/1988, pengertian perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.

Dalam Pasal 2 PMK Nomor 84/2006 tersebut, dinyatakan bahwa perusahaan pembiayaan melakukan kegiatan sebagai berikut:

  1. Sewa Guna Usaha (Leasing)

yaitu kegitan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.

  1. Anjak Piutang (Factoring)

yaitu kegiatan pembiyaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.

  1. Usaha Kartu Kredit (Credit Card)

adalah kegiatan pembelian untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit.

  1. Pembiyaan Konsumen (Consumer Finance)

adalah kegiatan pembiyaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.

  1. Perusahaan Modal Ventura (Ventura Capital Company)

adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pembiyaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk waktu tertentu.

 

Sedangkan lembaga keuangan lainnya adalah lembaga usaha (perusahaan) yang melakukan kegiatan usaha dibidang keuangan yang turut melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat secara langsung selain lembaga bank dan lembaga pembiayaan.

Lembaga keuangan bukan bank lainnya antara lain sebagai berikut:

  1. Perusahaan Asuransi

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 246, Istilah asuransi disebut dengan pertanggungan (verzekering) yaitu suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, atau kehilangan suatu keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu terjadi (evenement).

  1. Koperasi

Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi, dinyatakan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

  1. Reksa Dana

Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk  menghimpun dana dari masyarakat pemodal, untuk  selanjutnya diinvestasikan oleh Manajer Investasi dalam Portofolio Efek.

  1. Pasar Modal

adalah pasar yang terorganisir dimana saham, obligasi dan sejenisnya diperdagangkan oleh para anggota bursa yang bertindak sebagai agen (perantara pedagang efek) atau sebagai pedagang (principal).

Pokok-Pokok Hukum Asuransi

Posted: Februari 17, 2012 in Seri Hukum Bisnis

HUKUM ASURANSI

 

PERISTILAHAN

Istilah Perasuransian berasal dari kata “asuransi” yang berarti pertanggungana atau perlindungan atas sesuatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian.

Istilah asuransi menurut bahasa Indonesia sering juga disebut dengan istilah pertanggungan, atau Verzekering atau assurantie (Bahasa Belanda) dan Assurance atau insurance (bahasa Inggris).

Dalam bahasa Belanda Hukum Asuransi dinamakan Verzekeringrecht sedangkan verzekerar (penanggung)  dan verzekerde (tertanggung). Hukum asuransi atau hukum pertanggungan di Inggris dikenal dengan Insurance, The Insurer (Penanggung) dan The Insured (tertanggung).

 

PENDAHULUAN

Dalam teori dan praktek perasuransian dikenal juga dengan istilah asuransi dan pertanggungan.  Dalam  bahasa Belanda dipakai istilah “verzekering dan assurantie” dan “insurance” dalam bahasa Inggris.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 246 menentukan pengertian asuransi ‘’[atau pertanggungan sebagai berikut :

“Pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”

Unsur-unsur asuransi menurut pasal 246 KUHD yaitu :

1. Pihak-pihak

Pihak pihak yang dimaksud adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian asuransi, yaitu: Tertanggung Yaitu pihak yang mengalihkan resiko. Tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas objek yang diasuransikan. Pihak tertanggung biasanya adalah orang-perorangan.

Penanggung Yaitu pihak yang menerima pengalihan risiko. Penanggung mempunyai kewajiban untuk memikul risiko yang dialihkann kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi dari tertanggung.

2. Status Pihak-Pihak

Penanggung adalah perusahaan badan hukum seperti perusahaan perseroan. Sedangkan tertanggung adalah perseorangan, persekutuan serta badan hukum baik sebagai perusahaan atau bukan perusahaan. Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau pihak yang berkepentingan atas harta yang diasuransikan.

3. Objek Asuransi

Objek asuransi adalah berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat pada benda, dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Karena objek asuransi ini timbul tujuan dari penanggung untuk memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko atas objek asuransi. Sedangkan tujuan tertanggung mengasuransikan objek asuransi bertujuan untuk bebas dari risiko dan memperoleh pergantian jika timbul kerugian atas harta miliknya.

4. Peristiwa Asuransi

Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung mengenai objek, peristiwa tidak pasti (evenement) yang mengancam benda asuransi.

5. Hubungan Asuransi

Hubungan yang timbul dari perjanjian asuransi adalah hubungan timbal balik, artinya hubungan keterikatan yang timbul karena kesepakatan yaitu kesediaan sukarela untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

 

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Pasal 1 angka (1) yang menyatakan bahwa:

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggunga mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggunga jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Beberapa unsur penting dalam asuransi atau pertanggungan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang tersebut diatas, dapat ditentukan, yaitu :

1. Asuransi adalah suatu perjanjian,

Hubungan hukumnya berbentuk perjanjian antara para pihak.

2. Adanya pihak-pihak,

yaitu penanggung dan tertanggung. Pada umumnya penanggung adalah badan usaha atau perusahaan yang beraktivitas dalam kegiatan asuransi, sedangkan tertanggung dapat perorangan atau badan usaha.

3. Premi dari tertanggung kepada penanggung,

bahwa si tertanggung bersedia membayar sejumlah uang kepada penanggung dan sebaliknya penanggung bersedia menerima peralihan resiko apabila kejadian yang tidak tentu tersebut terjadi, dan akhirnya penanggung membayar konpensasi.

4. Adanya Peralihan Resiko

Peralihan resiko dari tertanggung kepada penanggung, akibat telah disepakatinya perjajian asuransi.

5. Evenement

Yaitu peristiwa yang tidak tentu terjadinya yang menimbulkan kerugian terhadap tertanggung.

6. Ganti rugi,

Apabila peristiwa tak tentu tersebut benar-benar terjadi, dan sebaliknya apabila peristiwa tersebut tidak terjadi, penanggung tetap dapat menikmati premi yang dibyar oleh tertanggung.

 

PENGATURAN

Asuransi diatur dalam berbagai ketentuan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan aturan lainnya:

  1. KUHD :
    1. Buku I, bab IX tentang Pertanggungan pada umumnya (Pasal 246 s.d. Pasal 286);
    2. Buku I, bab X tentang Pertanggungan Kebakaran, bahaya hasil panen dan pertanggungan jiwa (Pasal 287 s.d. Pasal 308)
    3. Buku II, bab X tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan darat dan di perairan darat (Pasal 686 s.d. Pasal 695)

 

  1. Di Luar KUHD, ada beberapa peraturan lama yang berkaitan dengan kegiatan asuransi atau pertanggungan yang masih berlaku dan peraturan baru seperti :
    1. Ordonantie op het Levenverzekeringbedrift, s. 1944-101 mulai berlaku pada 1 Mei 1941, penjelasannya dalam Bijblad 15108;
    2. Pertanggungan terhadap pencurian dan pembongkaran (diefstalen enbraak)
    3. Pertanggungan terhadap kerugian perusahaan (bedriftschade);
    4. Pertanggungan terhadap kecelakaan (ongevallenverzekering);
    5. Pertanggungan kredit;
    6. KItab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku III tentang Perikatan
    7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1002 Tentang Perasuransian, dll